Konsep pada dasarnya dibangun dari persamaan-persamaan objek, peristiwa, atau fenomena alam (Liliasari, 1998: 1.26). Pendapat serupa dikemukakan De Cecco & Crawford. (1993: 288) yang mengartikan konsep sebagai suatu kelompok stimulus yang memiliki karakteristik tertentu yang sama, dimana stimulus ini dapat berupa objek, peristiwa, atau orang. Konsep kimia adalah abstraksi fakta-fakta kimia sejenis yang saling berhubungan, yang berarti konsep kimia dibangun oleh sejumlah fakta kimia. Oleh karenanya konsep kimia selalu bersifat abstrak.
Seseorang yang ingin mempelajari konsep dituntut adanya kemampuan untuk mengamati persamaan dan perbedaan yang ada, sehingga kemampuan ini akhirnya berguna dalam pengembangan konsep yang dikuasainya. Dengan penguasaan konsep tersebut memungkinkan individu dapat menerjemahkan/menafsirkan dunia fisik dan sosial atau membuat respon yang tepat.
Konsep hanya ada dalam pikiran seseorang sebagai abstraksi dari kejadian-kejadian, objek-objek, fenomena yang memiliki sifat-sifat atau atribut tertentu. Jadi, jika ada berbagai kejadian, objek, atau fenomena yang tidak memiliki ciri-ciri yang dituntut oleh sebuah konsep, maka ia berada di luar konsep itu. Sukar mudahnya suatu konsep untuk dipahami sangat tergantung pada tingkat keabstrakan dari konsep-konsep tersebut.
Moh. Amien (1987: 18) membedakan konsep menjadi 3 jenis berdasarkan bentuknya, yaitu :
1) konsep klasifikasional, mencakup bentuk konsep yang didasarkan atas klasifikasi fakta-fakta ke dalam bagan-bagan yang terorganisir;
2) konsep korelasional, mencakup kejadian-kejadian khusus yang saling berhu-bungan, atau observasi-observasi yang terdiri atas dugaan-dugaan terutama berbentuk formulasi prinsip-prinsip umum, dan
3) konsep teoretik, mencakup bentuk konsep yang mempermudah kita dalam mempelajari fakta-fakta atau kejadian-kejadian dalam sistem yang terorganisir.
Nana Sudjana (1989: 27) mensyaratkan kondisi untuk mempelajari konsep, yaitu unsur-unsur prasyarat hendaknya diulang lagi; konsep yang lebih tinggi tingkatannya harus menekankan sifat-sifat umum yang memiliki hubungan dengan setiap konsep dasar; konsep prasyarat harus jelas dan siap terdapat dalam ingatan sebelum suatu konsep yang lebih tinggi dikembangkan.
Hal ini berarti pemahaman terhadap konsep dasar kimia sangat memegang peranan dalam pemahaman konsep-konsep kimia selanjutnya. Oleh karena itulah, seorang guru kimia yang memperkenalkan pertama kali suatu konsep dasar kimia diharapkan tidak salah dalam penyampaian, karena hal ini akan berakibat fatal ketika konsep tersebut digunakan sebagai prasyarat memahami konsep kimia yang lain. Konsep sebagai wujud hasil dari proses pembelajaran yang dicerminkan dalam bentuk nilai/prestasi belajar kimia akan melibatkan proses perubahan dari prakonsepsi awal yang dimiliki peserta didik sebagai usaha pencapaian keutuhan konsep, sehingga permasalahan salah konsep atau miskonsepsi tidak akan muncul.
Setiap peserta didik telah memiliki struktur kognitif yang terbentuk berdasarkan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan. Sebelum peserta didik mempelajari konsep kimia, mereka telah memiliki konsep yang dibawa sebagai pengetahuan awal yang disebut prakonsepsi. Konsep yang dibawa dan dikembangkan sendiri ini tidak selalu sama dengan konsep sebenarnya yang dikemukakan para ahli kimia. Ketika mereka mengikuti proses pembelajaran dan menerima konsep baru, ia akan berusaha menyelaraskan konsep baru tersebut dengan konsep yang telah dimilikinya. Dalam proses penyelarasan ini, ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu kemungkinan :
1) guru menyampaikan konsep tetapi konsep tersebut salah dan peserta didik mengontruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sesungguhnya sudah benar;
2) guru menyampaikan konsep dengan benar dan peserta didik tidak mengonstruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sesungguhnya salah; atau
3) guru menyampaikan konsep dengan benar dan peserta didik mengonstruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sesungguhnya salah.
Jika kemungkinan (1) dan (2) yang terjadi, maka dalam diri peserta didik sebenarnya telah terjadi miskonsepsi yang disebabkan oleh sekolah (school made misconception) dan dibuat peserta didik itu sendiri. Jika hal ini tidak terdeteksi secara dini oleh guru, maka miskonsepsi akan berlarut-larut dan berakibat fatal pada pemahaman konsep kimia yang salah secara keseluruhan. Jika kemungkinan (3) yang terjadi, berarti aliran konstruktivistik telah terbentuk dalam diri peserta didik tersebut, dan inilah yang diharapkan dalam proses pembelajaran.
Menurut Canella & Reiff (1994: 27-28):
”Belajar dengan pendekatan konstruktivistik berarti mengonstruksi atau menyusun struktur pemahaman atau pengetahuan dengan cara mengaitkan dan menyelaraskan fenomena, ide, atau pengetahuan baru ke dalam struktur pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya”.
Aliran konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi atau bentukan manusia. Manusia mengonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada peserta didik, tetapi harus diinterprestasikan sendiri oleh mereka. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Jawaban peserta didik atas suatu persoalan adalah jawaban yang masuk akal bagi mereka saat itu. Jika ada jawaban salah, bukan disalahkan, tetapi ditanyakan bagaimana ia dapat memperoleh jawaban itu. Dengan demikian peserta didik terlibat aktif dalam proses perolehan suatu konsep.
Pemahaman setiap peserta didik mengenai suatu konsep disebut konsepsi, dimana setiap peserta didik memiliki konsepsi yang berbeda-beda terhadap suatu konsep. Daya pikir dan daya tangkap setiap peserta didik terhadap stimulus yang ada di lingkungan tidak akan persis sama. Ada kemungkinan beberapa peserta didik memiliki konsepsi yang salah terhadap suatu konsep, keadaan inilah yang disebut sebagai miskonsepsi (Liliasari, 1998: 1.29).
Menurut Paul Suparno (2005: 4) miskonsepsi menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu. Sebagai contoh, peserta didik berpendapat bahwa ketika suatu reaksi mencapai kesetimbangan, konsentrasi zat dalam reaksi akan tetap dan reaksi terhenti. Pemahaman konsep tersebut salah, karena konsentrasi zat dalam reaksi kesetimbangan selalu berubah-ubah, hanya perubahan ini dalam skala yang sangat kecil (mikroskopis), tetapi dalam skala makroskopis atau dalam perhitungan, konsentrasi zat yang dapat diamati dianggap tetap dan reaksi dianggap terhenti.
Novak & Gowin (1984: 102) mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima, sedangkan Brown (1989: 355, 1992: 19) menjelaskan miskonsepsi sebagai suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang sekarang diterima. Feldsine (1987: 178) menjelaskan miskonsepsi sebagai suatu kesalahan atau hubungan tidak benar antar konsep. Arti miskonsepsi secara lebih rinci dikemukakan Fowler & Jaoude (1987: 182), yaitu miskonsepsi diartikan sebagai pengertian yang tidak akurat tentang konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hirarkhis konsep-konsep yang tidak benar.
Beberapa ahli menyamakan miskonsepsi dengan salah konsep, namun sebenarnya keduanya memiliki pengertian yang berbeda ditinjau dari sumber penyebabnya. Miskonsepsi kimia merupakan pemahaman yang salah terhadap suatu konsep kimia yang bersumber dari kesalahan peserta didik itu sendiri dalam memahaminya, sedangkan salah konsep merupakan pemahaman yang salah terhadap suatu konsep kimia karena sumber berasalnya konsep tersebut (buku kimia atau guru kimia) memang salah, akibatnya peserta didik juga salah memahami. Sebagai contoh miskonsepsi, peserta didik memahami ikatan dalam gas hidrogen klorida adalah ikatan ion, karena larutannya dalam air, HCl terurai menjadi ion H+ dan Cl-, padahal ikatan dalam HCl bentuk gas adalah ikatan kovalen. Contoh salah konsep, dalam buku kimia tertulis “perubahan fisika adalah perubahan dimana zat tidak dapat kembali ke bentuk semula”. Peserta didik memahami konsep tersebut persis seperti yang tertulis dalam buku. Padahal konsep yang benar adalah “perubahan fisika adalah perubahan yang tidak menghasilkan zat yang jenisnya baru”. Jika salah konsep ini terjadi, maka ketika peserta didik menjumpai perubahan beras kasar menjadi tepung beras, peserta didik akan mengkategorikan sebagai perubahan fisika, karena tepung beras tidak dapat kembali menjadi beras.
Pada umumnya peneliti modern lebih menyukai penggunaan istilah konsep alternatif daripada miskonsepsi. Hal ini karena berbagai alasan (Wandersee, Mintzes, & Novak, 1994: 185), yaitu:
konsep alternatif (1) lebih menekankan adanya kesalahan pemahaman berda-sarkan pengalaman yang dikonstruksi oleh peserta didik sendiri; (2) lebih memberikan penghargaan intelektual kepada peserta didik bahwa merekalah yang memiliki gagasan/ide tersebut; dan (3) seringkali secara kontekstual masuk akal dan berguna untuk menjelaskan beberapa persoalan yang sedang dihadapi peserta didik.
Penggunaan istilah konsep alternatif memberikan penghargaan tersendiri bagi peserta didik yang memiliki gagasan/ide berbeda dengan gagasan/ide para ahli. Konsep yang berbeda tersebut menunjukkan bahwa dalam pembentukan pengetahuan, peserta didik berusaha mengontruksi konsep itu sendiri. Guru tidak perlu menyalahkan mentah-mentah konsep hasil konstruksi peserta didiknya, karena mereka mengonstruksi berdasarkan pengalaman hidupnya dan kadang-kadang konsep tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan permasalahan hidupnya sehari-hari. Sebagai contoh, ketika peserta didik mengonstruksi konsep bahwa semua zat padat jika dilarutkan dalam air panas akan lebih cepat melarut berdasarkan pengalamannya. Meskipun konsep yang terkonstruksi tersebut tidak sepenuhnya benar, karena zat padat yang dilarutkan bukan berarti semua mengalami proses melarut (proses fisik), ada juga yang mengalami reaksi dengan pelarutnya (proses kimia), namun konstruksi konsep tersebut berguna dalam permasalahan sehari-hari yang berkaitan dengan pelarutan suatu zat padat dalam zat cair.
Istilah miskonsepsi masih tetap dipertahankan dan digunakan oleh beberapa peneliti dengan berbagai alasan, yaitu miskonsepsi memiliki makna bagi orang awam; dalam pendidikan sains, istilah miskonsepsi membawa pengertian-pengertian tertentu sesuai dengan pemikiran saintifik saat ini; dan istilah miskonsepsi lebih mudah dimengerti, baik oleh para guru maupun orang awam (Wandersee, Mintzes, & Novak, 1994: 186). Dengan kata lain, istilah miskonsepsi lebih mudah dipahami oleh siapa saja yang berhubungan dengan dunia pendidikan daripada istilah konsep alternatif, karena istilah miskonsepsi telah diketahui umum dan sudah mencerminkan arti dengan sangat jelas. Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, maka pada penelitian ini memilih menggunakan istilah miskonsepsi. Jadi, miskonsepsi kimia oleh peserta didik diartikan sebagai pemahaman yang salah terhadap konsep kimia.
Berg (1991: 17) merangkum ciri-ciri miskonsepsi menurut beberapa literatur sebagai berikut :
(1) miskonsepsi sulit sekali diperbaiki; (2) seringkali ”sisa” miskonsepsi terus-menerus mengganggu. Tes-tes yang sederhana dapat dikerjakan, tetapi dengan tes yang sedikit lebih sulit, miskonsepsi muncul lagi; (3) seringkali terjadi regresi, yaitu peserta didik yang sudah pernah mengatasi miskonsepsi, beberapa bulan mengalami miskonsepsi lagi; (4) dengan ceramah yang bagus, miskonsepsi tidak dapat dihilangkan atau dihindari; (4) guru pada umumnya tidak mengetahui miskonsepsi yang lazim terjadi pada peserta didiknya dan tidak menyesuaikan proses pembelajaran dengan miskonsepsi yang dialami peserta didiknya; dan (5) peserta didik yang pandai dan yang lemah dapat terkena miskonsepsi.
Miskonsepsi kimia yang dialami peserta didik jelas sangat merugikan bagi kelancaran dan keberhasilan belajar mereka, apalagi jika miskonsepsi sudah terjadi lama dan tidak terdeteksi secara dini, baik oleh peserta didik itu sendiri maupun guru. Konsep-konsep kimia umumnya diajarkan secara hirarkhis dari konsep yang mudah ke sukar, dari konsep yang sederhana ke kompleks, sehingga jika konsep yang mudah dan sederhana saja sudah mengalami miskonsepsi, maka lebih lanjut pemahaman konsep-konsep kimia yang sukar dan kompleks, peserta didik akan semakin kesulitan dan mengalami kesalahan pemahaman konsep secara berlarut-larut.
Meskipun miskonsepsi yang terjadi pada peserta didik sulit diperbaiki dan selalu meninggalkan ”sisa” yang berpengaruh pada pemahaman konsep kimia yang lain, tetapi seorang guru diharapkan tetap berusaha untuk membantu peserta didik untuk keluar dari miskonsepsi yang terjadi. Oleh karena itu pengetahuan tentang konsep-konsep kimia mana saja yang sering menimbulkan miskonsepsi sangat penting dimiliki guru, agar setiap kali menjumpai konsep-konsep tersebut guru berusaha menjelaskan secara lebih mendalam. Selain dari hasil penelitian, pendetek-sian tentang konsep-konsep kimia yang menyebabkan miskonsepsi sudah waktunya dapat dilakukan oleh guru itu sendiri. Untuk itulah diperlukan instrumen yang mampu mendeteksi terjadinya miskonsepsi kimia pada peserta didik.
0 Komentar untuk "Pengertian Miskonsepsi Kimia"
Berkomentarlah dengan baik dan sopan, saya akan berusaha untuk menjawab setiap pertanyaan dan menanggapi setiap komentar yang anda berikan, :)
Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya :)