Filsafat konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan itu dikonstruksi oleh peserta didik sendiri ketika berhubungan dengan lingkungan, tantangan, dan bahan yang dipelajari (Paul Suparno, 1997: 33). Oleh karena peserta didik mengonstruksi sendiri pengetahuannya, maka sangat mungkin terjadi salah konstruksi yang disebabkan mereka belum memiliki bekal cukup yang berkaitan dengan konsep yang sedang dikonstruksi atau belum memiliki kerangka ilmiah yang dapat digunakan sebagai acuan dalam mengonstruksi pengetahuan yang benar.
Dalam proses konstruksi ulang setelah menerima penjelasan dari guru, dapat saja terjadi peserta didik mengonstruksi secara tidak utuh karena keterbatasan kemampuan atau bercampur dengan gagasan lain yang kebetulan dialami dan dianggap berhubungan. Sebagai contoh, ketika guru menjelaskan tentang reaktor nuklir yang berguna sebagai pembangkit listrik tenaga nuklir, mungkin beberapa peserta didik hanya berpikir bahwa semua yang berhubungan dengan nuklir pasti membahayakan kehidupan, karena yang ada di pikirannya hanya tentang ”bom nuklir” yang sering mereka dengar.
Dalam pengertian konstruktivisme, miskonsepsi dianggap hal yang wajar terjadi pada peserta didik, karena mereka memang melakukan proses pembentukan pengetahuan itu sendiri. Tugas seorang guru adalah membantu meluruskan dan memperbaiki miskonsepsi secara sabar, karena miskonsepsi tidak mudah diperbaiki hanya dengan menjelaskan konsep tersebut secara sistematis dan menerapkan banyak metode mengajar.
Miskonsepsi kimia paling banyak terjadi disebabkan peserta didik itu sendiri, karena banyaknya konsep kimia yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Adapun beberapa hal yang dapat menyebabkan miskonsepsi yang berasal dari peserta didik, antara lain:
a) Prakonsepsi atau konsep awal peserta didik
Konstruksi awal suatu konsep atau prakonsepsi sering dibentuk secara salah oleh peserta didik karena prakonsepsi dibentuk sebelum mereka mendapatkan pelajaran formal tentang konsep yang dimaksud. Sebagai contoh, meskipun peserta didik belum belajar tentang kesetimbangan kimia, tetapi ia telah mengonstruksi sendiri bahwa reaksi yang setimbang pasti massanya sama. Prakonsepsi ini terbentuk hanya berdasarkan pengalaman yang ada di lingkungannya, yaitu bahwa sesuatu yang setimbang pasti berkaitan dengan kesamaan massa, seperti halnya fungsi suatu timbangan. Prakonsepsi yang salah ini dapat menimbulkan miskonsepsi, karena peserta didik belum mengenal konsep kesetimbangan kimia yang benar menurut para ahli kimia.
Miskonsepsi kadang-kadang sulit diluruskan melalui proses pembelajaran formal di sekolah, terutama jika prakonsepsi tersebut telah mengendap dalam pikirannya dan berkaitan dengan istilah atau peristiwa yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Seperti contoh tadi, setimbang sangat dekat dengan peristiwa menimbang yang dapat dijumpai sehari-hari dalam kehidupan mereka.
Prakonsepsi menunjukkan bahwa pikiran peserta didik sejak lahir selalu dinamis dan aktif untuk memahami sesuatu. Rasa ingin tahu menyebabkan alam pikiran peserta didik berkembang sejalan dengan perkembangan usia dan jaman, sehingga menghasilkan sekumpulan pengetahuan yang menjadi milik diri (Das Salirawati, 2008: 2-3). Pengetahuan dan pemahaman awal suatu konsep (prakonsepsi) yang dimiliki peserta didik akan menjadi acuan ketika ia harus berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain, termasuk dalam interaksinya dengan guru secara formal di sekolah.
Tidak selalu penjelasan yang diberikan guru mampu mengubah prakonsepsi yang sudah ada dalam pikiran peserta didik, karena peserta didik tidak akan mene-rima begitu saja penjelasan suatu konsep dari guru, akan tetapi peserta didik senantiasa mengolah dan mencerna dengan mengaitkan prakonsepsi yang telah dimiliki. Sangat sulit bagi guru untuk memperbaiki pemahaman suatu konsep jika prakonsepsi yang dimiliki peserta didiknya telah mengakar dalam pikirannya. Prakonsepsi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik sangat sulit diperbaiki dan diluruskan, karena adanya anggapan bahwa prakonsepsi yang dimiliki memang benar. Sebagai contoh, massa dan berat memiliki pengertian yang sangat berbeda, berat suatu zat dipengaruhi oleh gravitasi bumi, sedangkan massa tidak. Namun menurut prakonsepsi peserta didik keduanya sama, karena secara umum dalam kehidupan sehari-hari keduanya tidak dibedakan. Biasanya berat badan seseorang dinyatakan hanya dengan satuan kg, padahal seharusnya jika yang disebutkan berat, maka satuan yang benar adalah kgf (kilogram gaya).
Miskonsepsi dapat dikurangi atau diminimalisasikan tetapi memerlukan proses. Menurut Piaget ((Ratna Wilis Dahar, 1988: 18) menjelaskan tahap perkembangan kemampuan kognitif anak, mulai dari tahap sensori motorik (konkret) sampai tahap formal/abstrak. Pada tahap perkembangan dari konkret menjadi abstrak peserta didik banyak mengalami miskonsepsi yang disebabkan terbatasnya kemampuan mengonstruksi pengetahuan dan tidak lengkapnya pengetahuan yang dimiliki sebagai bekal mengonstruksi suatu konsep secara tepat dan benar. Namun secara perlahan sesuai dengan tahap perkembangannya, peserta didik akan terus-menerus memperbaiki dan mengurangi miskonsepsi dalam dirinya hingga akhirnya diperoleh pemahaman yang benar tentang konsep tertentu.
Phelps & Cherin Lee (2003: 830) menyatakan perlunya seorang guru mengembangkan pemahaman pembelajaran yang konsisten dengan filosofi konstruk-tivisme, artinya peserta didik harus selalu dilatih menjadi aktif dalam pembelajaran dan menanamkan konsep utama ke dalam konstruksi berpikir mereka, sehingga dapat menjadi dasar bangunan terhadap informasi baru yang diterima. Lebih lanjut dikemukakan adanya kecenderungan konsep yang dimiliki peserta didik resisten terhadap perubahan, sehingga tugas guru untuk selalu mengingatkan peserta didik dalam mengontruksi ulang prakonsepsi yang telah dimilikinya.
b) Pemikiran asosiatif peserta didik
Menurut Arons (1981: 166), asosiasi peserta didik terhadap istilah-istilah sehari-hari kadang-kadang dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Sebagai contoh, peserta didik mengasosiasikan perubahan tekanan akan menyebabkan perge-seran kesetimbangan. Jika peserta didik tidak melihat bahwa perubahan tekanan hanya akan mempengaruhi reaktan dan produk yang berwujud gas, maka peserta didik akan selalu salah dalam menentukan arah pergeseran, karena angka koefisien dari semua zat yang terlibat dalam kesetimbangan dihitung.
Demikian juga jika peserta didik mengasosiasikan berlangsungnya reaksi dengan zat hasil reaksi. Peserta didik beranggapan jika suatu reaksi telah berlangsung, maka produk selalu jumlahnya lebih banyak daripada reaktan. Pemikiran asosiatif ini dapat menyebabkan miskonsepsi ketika diterapkan dalam reaksi kesetimbangan (reversible) dimana zat hasil reaksi tidak selalu jumlahnya lebih banyak daripada zat reaktan ketika kesetimbangan tercapai dan reaksi dianggap terhenti.
Pengertian yang berbeda dari kata-kata yang digunakan guru dan peserta didik juga dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi (Marshall & Gilmour, 1990: 332). Kata dan istilah yang digunakan guru dalam proses pembelajaran diasosiasikan berbeda oleh peserta didik. Sebagai contoh, guru menjelaskan basa sebagai semua zat yang larutannya dalam air dapat melepaskan ion OH- tanpa penjelasan dan contoh lebih lanjut. Peserta didik yang tidak dapat memahami makna penjelasan tadi akan berpikir asosiatif bahwa semua senyawa yang rumus molekulnya mengandung OH pasti termasuk basa. Tentu saja pemikiran asosiatif ini menyebabkan miskonsepsi, karena senyawa seperti CH3COOH dan HCOH akan dipahami sebagai basa. Oleh karena itu penting bagi guru memberikan penjelasan serinci mungkin agar peserta didik tidak salah dalam menangkap penjelasan tersebut.
Menurut Barke (2008: 23), guru perlu menyadari kegelisahan peserta didik ketika mereka tidak memahami bahasa yang digunakannya dalam menjelaskan materi di kelas. Sebagian besar peserta didik akan berusaha sekuat tenaga untuk menyelami makna bahasa yang digunakan guru, tetapi sebagian dari mereka mengalami kesalahan dalam membentuk pemikiran asosiatif. Sebagai contoh, peserta didik mencoba berpikir asosiatif tentang penjelasan pengertian disosiasi yang diberikan guru, tetapi karena penjelasan guru dirasakan membingungkan, maka proses pemahaman peserta didik ini menimbulkan kegelisahan. Mungkin sebagian peserta didik memahami dengan benar, tetapi sebagian lagi salah. Disosiasi yang dijelaskan sebagai peristiwa terurainya suatu zat menjadi zat yang lebih sederhana disertai beberapa contoh reaksi kesetimbangan yang merupakan peristiwa ionisasi akan menghasilkan pemikiran asosiatif peserta didik bahwa disosiasi sebagai peristiwa terurainya suatu zat menjadi ion-ion. Padahal peristiwa disosiasi tidak selamanya menghasilkan ion-ion.
c) Pemikiran humanistik
Manusia adalah makhluk hidup yang unik, karena meskipun ia lemah dibandingkan makhluk hidup lainnya, tetapi ia memiliki kelebihan berupa akal pikiran yang mampu mengendalikan keinginannya. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia seringkali memandang semua benda di sekitarnya sesuai dengan nalurinya sebagai manusia atau bersifat manusiawi (Gilbert, Watts, & Osborne, 1982: 62). Naluri yang demikian kadang-kadang dapat membawa kesalahan dalam pemahaman suatu konsep. Sebagai contoh, miskonsepsi tentang peranan katalis dalam reaksi. Sulit bagi peserta didik untuk memahami bahwa setelah reaksi berakhir, katalis akan diperoleh kembali pada akhir reaksi. Hal ini didasarkan pada pengalaman dan pemikiran bahwa sesuatu yang telah bereaksi tidak akan mungkin kembali seperti semula. Oleh karena itu penjelasan lebih lanjut perlu disampaikan guru kepada peserta didik, bahwa suatu katalis yang telah ditambahkan dalam reaksi tidak menjadi produk reaksi.
d) Penalaran (reasoning) yang tidak lengkap atau salah
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan (Jujun S. Suriasumantri, 1970: 18). Pada kenyataannya, miskonsepsi dapat pula disebabkan oleh penalaran (reasoning) peserta didik yang tidak lengkap atau salah. Ketika peserta didik belum memperoleh pembelajaran suatu konsep, ia telah memiliki prakonsepsi yang dibentuk berdasarkan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan (Berg, 1991: 4). Setelah peserta didik memperoleh pembelajaran konsep tersebut dari guru, maka ia akan mengonstruksi ulang prakonsepsinya. Mungkin konstruksi ulang tersebut benar mungkin pula salah. Kesalahan konstruksi ulang karena prakonsepsi yang dimiliki tidak lengkap dan keterbatasan kemampuan untuk mengaitkan secara benar konsep yang diterima dengan struktur kognitifnya.
Kesalahan penalaran dapat pula terjadi karena kesalahan logika berpikir yang digunakan untuk menarik kesimpulan, atau kesalahan menggeneralisasikan suatu konsep dalam ruang lingkup yang lebih luas, akibatnya terjadi miskonsepsi. Penga-matan yang tidak lengkap dan teliti terhadap berbagai fakta atau fenomena di lingkungan sekitar dapat menyebabkan kesalahan dalam pengambilan kesimpulan yang berakibat terjadinya miskonsepsi. Sebagai contoh, senyawa ionik adalah senyawa yang dapat terurai menjadi ion-ion. Kesimpulan yang dibuat hanya berdasar-kan logika berpikir bahwa senyawa ionik mengandung ikatan ion, yaitu ikatan antara ion positif dan ion negatif. Hal ini akan berakibat terjadinya miskonsepsi jika tidak ada tambahan bahwa ionisasi hanya terjadi ketika senyawa ionik dilelehkan atau dilarutkan dalam air. Dengan demikian guru perlu selalu mengingatkan kepada peserta didik untuk berhati-hati dalam menggeneralisasikan fakta-fakta menjadi suatu konsep agar tidak terjadi over generalization (generalisasi yang terlalu luas).
e) Intuisi yang salah
Intuisi merupakan suatu kegiatan berpikir yang non analitik dan tidak mendasarkan kepada suatu pola berpikir tertentu. Dengan kata lain, intuisi merupakan kegiatan berpikir yang tidak berdasarkan penalaran (Jujun S. Suriasumantri, 1970: 19). Kadang-kadang dalam diri seseorang muncul perasaan yang secara tiba-tiba mengungkapkan sikap atau ide dalam memahami sesuatu keadaan atau gejala/ kejadian tanpa melalui pemikiran atau penalaran. Sebagai contoh, peserta didik memiliki intuisi bahwa jika suatu zat padat dicampurkan ke dalam air, maka setelah diaduk dan didiamkan pasti akan terbentuk endapan. Pemikiran intuitif ini seringkali menjebak peserta didik untuk tidak bersikap kritis pada berbagai keadaan yang sejenis, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya miskonsepsi. Hal ini karena tidak semua zat padat yang dicampurkan dalam air akan mengendap kalau didiamkan, karena adanya dua jenis campuran, yaitu homogen (larutan) dan heterogen.
Biasanya pemikiran intuitif akan muncul di benak peserta didik secara spontan ketika secara terus-menerus melihat keadaan atau kejadian. Ketika dihadapkan pada pertanyaan yang berkaitan dengan pemahaman kejadian tersebut, maka secara spontan peserta didik akan menjawab/menanggapi sesuai dengan pemikiran intuitif yang dimiliki, tanpa berpikir benar salahnya. Jika hal ini terjadi dan dibiarkan berlarut-larut akan mengganggu pemahaman konsep lain yang berkaitan dengan konsep yang dipahami berdasarkan pemikiran intuitif tersebut.
f) Tahap perkembangan kognitif peserta didik
Seperti yang dikemukakan Piaget (Ratna Wilis Dahar, 1988: 18) bahwa tahap perkembangan kognitif anak dimulai dari tahap konkret sampai tahap abstrak, sehing-ga pemberian materi pelajaran kepada peserta didik harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitifnya. Miskonsepsi dapat terjadi apabila peserta didik menerima materi ajar yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan kognitifnya. Sebagai contoh, anak SD yang diberi penjelasan tentang atom yang sangat abstrak, tidak akan dapat menerima dan memahami dengan benar konsep atom tersebut, karena tingkat perkembangan kognitifnya belum mampu menjangkau konsep yang abstrak. Oleh karena itu Pemerintah membuat peraturan bagi buku-buku di SD dengan membatasi jumlah kalimat dalam setiap halaman, tulisan berukuran besar, dan diharapkan untuk menyertakan gambar-gambar dalam memperjelas pemahaman.
Peserta didik di SMA, meskipun mereka sudah termasuk pada tahap berpikir abstrak, tetapi kadang-kadang mereka masih memerlukan bantuan berupa model, ilustrasi, atau analogi dengan fenomena kehidupan sehari-hari untuk memahami konsep yang abstrak. Sebagai contoh, ketika mereka dijelaskan tentang bentuk molekul tetrahedral, maka tidaklah cukup hanya dengan kata-kata penggambaran atau pendeskripsiannya. Guru perlu menunjukkan model molekul tetrahedral dengan molimood, model tiruan dari kertas, atau bola pingpong untuk memberikan gambaran konkretnya. Jika guru tidak membantu dengan model, maka miskonsepsi tentang bentuk molekul tetrahedral yang sesungguhnya sangat mungkin terjadi.
Contoh lain, guru menjelaskan bahwa kenaikan suhu pada reaksi kesetim-bangan akan menyebabkan reaksi bergeser ke arah endoterm. Konsep ini tidak mudah dipahami atau sekedar dihafal. Guru dapat membantu pemahaman peserta didik dengan menganalogikan pada kehidupan sehari-hari. Jika suhu dianalogikan dengan uang, reaksi digambarkan sebagai kesetimbangan antara dua keluarga yang satu kaya (eksoterm) dan satu lagi miskin (endoterm), tetapi kedua keluarga tersebut hidup damai (untuk menggambarkan setimbang). Jika keluarga yang kaya mendapat tambahan rejeki uang, tentu ia akan memberikan kepada keluarga yang miskin (bergeser ke endoterm). Dengan cara analogi yang demikian dapat membantu pemahaman peserta didik dan sekaligus mengantisipasi terjadinya miskonsepsi.
g) Kemampuan peserta didik
Kemampuan yang dimiliki peserta didik dapat berupa bakat dan kecerdasan. Secara umum bakat diartikan sama dengan inteligensi, yaitu kemampuan mental yang dimiliki seseorang. Berbagai penelitian menghasilkan kesimpulan, bahwa inteligensi merupakan hasil interaksi antara faktor lingkungan dan bawaan, sehingga keberadaannya tidak konstan melainkan dapat berubah. Namun demikian, sampai seberapa besar inteligensi berubah tidak dapat dipastikan, yang jelas bila seseorang mempunyai kemampuan khusus sebagai bagian dari kemampuan mental umumnya (inteligensi) bila dikembangkan, maka kemampuan itu akan bertambah.
Inteligensi yang kurang (rendah) tentu sangat berpengaruh terhadap kecepatan dan ketepatan peserta didik dalam menangkap dan memahami materi yang sedang dipelajarinya. Selain itu bakat yang kurang juga berakibat tidak dapatnya peserta didik memahami materi secara lengkap dan utuh, apalagi dalam menghubungkan antar konsep. Oleh karena itu kemungkinan terjadinya miskonsepsi dalam diri peserta didik dengan inteligensi rendah lebih besar dibandingkan peserta didik yang memiliki inteligensi tinggi.
Sebagai contoh, ketika diminta mengerjakan tes kesetimbangan kimia, yaitu menghitung konstanta kesetimbangan berdasarkan tekanan (Kp), peserta didik dengan inteligensi rendah akan menuliskan rumus Kp sebagai perbandingan tekanan produk dibagi reaktan tanpa memperhatikan fase zatnya. Hal ini karena yang ada dalam struktur kognitifnya, konstanta kesetimbangan adalah produk dibagi reaktan. Struktur kognitifnya tidak mampu menghubungkan konsep lain yang menyatakan bahwa hanya zat yang berupa gas yang dapat memberikan tekanan.
Seperti halnya inteligensi, kecerdasan seseorangpun berbeda-beda. Piaget merumuskan tingkat perkembangan kecerdasan manusia ke dalam empat tahap, yaitu: sensori-motorik (usia 0 – 1,5 tahun), pre-operasional/pre-konseptual (usia 1,5 – 6 tahun), operasi konkret (usia 6/7 - 10/11 tahun), dan operasi formal (di atas usia 10/11). Pentahapan kecerdasan tersebut berlaku secara umum, meskipun dalam praktiknya ada penyimpangan. Hal ini karena meskipun kecerdasan individu berkembang mengikuti umur kronologisnya, namun kecerdasan dapat diasah sehingga seseorang dapat memiliki pengetahuan yang melebihi umur kronologisnya. Kecerdasan juga mempengaruhi mudah tidaknya peserta didik mengalami miskonsepsi. Semakin cerdas seseorang tentu saja semakin kecil kemungkinan terjadinya miskonsepsi dalam struktur kognitifnya, dan sebaliknya.
Bagi peserta didik yang cerdas, memahami bahwa penentu laju reaksi adalah tahap reaksi yang lambat sangatlah mudah. Namun tidak demikian bagi peserta didik yang kurang cerdas. Peserta didik kesulitan dalam memahami konsep tersebut, karena dalam struktur kognitifnya ia membayangkan dalam suatu balap sepeda motor/mobil yang lajunya tercepat itulah yang menang. Di sini terjadi miskonsepsi analogi, bahwa laju reaksi disamakan dengan laju sepeda motor/mobil dalam suatu arena balap, padahal laju reaksi berkaitan dengan penambahan jumlah produk tiap satuan waktu, dan tidak ada kaitannya dengan laju sepeda motor/mobil.
h) Minat belajar
Perasaan senang dan rasa ingin tahu merupakan sebagian indikator yang dapat dijadikan kriteria bahwa seseorang berminat terhadap suatu objek (Moh. Uzer Usman, 2000: 2). Dengan demikian bila peserta didik berminat belajar kimia, maka tentu ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk menguasai materi kimia dengan baik dan benar. Selain itu, minat yang tinggi dapat menciptakan situasi yang kondusif bagi peserta didik dalam mengikuti pembelajaran, karena minat dapat memberikan dorongan untuk selalu semangat belajar dan menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan objek yang diminatinya Wasty Soemanto (1987: 16).
Minat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan belajar, semakin tinggi minat seseorang semakin besar semangatnya untuk belajar (Sri Esti Wuryani D, 1989: 156). Jika materi pembelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat peserta didik, maka mereka tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada daya tarik baginya. Dengan demikian sangat penting bagi seorang guru untuk menumbuhkan minat belajar peserta didiknya sebelum ia memulai pelajaran (Slameto, 1995: 180).
Menurut Singer (1987: 92-93), peserta didik yang memiliki minat terhadap objek tertentu cenderung memberikan perhatian yang lebih besar terhadap objek tersebut. Sejalan dengan pendapat tersebut, Wayan Nurkancana (1982: 215-216) mengemukakan bahwa penting bagi seorang guru mengetahui minat peserta didik, karena minat dapat mempengaruhi prestasi belajar peserta didik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa peserta didik yang berminat belajar kimia cenderung memiliki miskonsepsi lebih rendah daripada peserta didik yang tidak berminat belajar kimia. Peserta didik yang kurang berminat belajar kimia cenderung kurang memperhatikan penjelasan guru di kelas dan sangat jarang beraktivitas membaca buku pelajaran kimia. Akibatnya mereka akan lebih mudah mengalami kesalahan dalam menangkap materi, karena yang mereka dengarkan hanya potongan-potongan materi, tidak secara keseluruhan. Ketika mereka mencoba membangun pemahaman dalam struktur kognitifnya, maka cenderung mengalami miskonsepsi karena pemahaman yang tidak lengkap dan utuh.
Sebagai contoh, guru menjelaskan penerapan prinsip pergeseran kesetim-bangan dalam industri pembuatan ammonia. Oleh karena peserta didik kadang memperhatikan kadang tidak, maka ia hanya menangkap bahwa agar produk ammonia menjadi optimal suhu reaksi harus dinaikkan setinggi-tingginya dan tekanan dinaikkan sebesar-besarnya. Padahal untuk menaikkan suhu dan tekanan diperlukan pertimbangan biaya operasional yang harus dipikirkan oleh pabrik. Penjelasan yang terakhir ini jika tidak didengarkan akan berakibat terjadinya miskonsepsi pada peserta didik yang kurang berminat belajar kimia, karena ia tidak mau mendengarkan keseluruhan penjelasan guru.
1 Komentar untuk "Faktor Penyebab Terjadinya Miskonsepsi Kimia dari Peserta Didik"
Friestamonita@gmail.com
Berkomentarlah dengan baik dan sopan, saya akan berusaha untuk menjawab setiap pertanyaan dan menanggapi setiap komentar yang anda berikan, :)
Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya :)