Translate

MODEL PEMBELAJARAN KIMIA KONSTRUKTIVISTIK INOVATIF UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK



Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang begitu pesat pada era globalisasi, membawa perubahan yang sangat radikal. Perubahan itu telah berdampak pada setiap aspek kehidupan, termasuk pada system pendidikan dan pembelajaran. Dampak dari perubahan yang luar biasa itu terbentuknya suatu ‘kumonitas global’, lebih parah lagi karena komunitas global itu ternyata tiba jauh lebih cepat dari yang diperhitungkan: revolusi informasi telah menghadirkan dunia baru yang benar-benar hyper-reality.
Akibat dari perubahan yang begitu cepatnya, manusia tidak bisa lagi hanya bergantung pada seperangkat nilai, keyakinan, dan pola aktivitas social yang konstan. Manusia dipaksa secara berkelanjutan untuk menilai kembali posisi sehubungan dengan factor-faktor tersebut dalam rangka membangun sebuah konstruksi social-personal yang mungkin atau yang tampaknya memungkinkan. Jika masyarakat mampu bertahan dalam menghadapi tantangan perubahan di dalam dunia pengetahuan, teknologi, komunikasi serta konstruksi social budaya ini, maka kita harus mengembangkan proses-proses baru untuk menghadapi masalah-masalah baru ini. Kita tidak dapat lagi bergantung pada jawaban-jawaban masa lalu karena jawaban-jawaban tersebut begitu cepatnya tidak berlaku seiring dengan perubahan yang terjadi. Pengetahuan, metode-metode, dan keterampilan-keterampilan menjadi suatu hal yang ketinggalan zaman hamper bersamaan dengan saat hal-hal ini memberikan hasilnya. Degeng (1998) menyatakan bahwa kita telah memasuki era kesemrawutan. Era yang datangnya begitu tiba-tiba dan tak seorang pun mampu menolaknya. Kita harus masuk di dalamnya dan diobok-obok. Era kesemrawutan tidak dapat dijawab dengan paradigma keteraturan, kepastian, dan ketertiban. Era kesemrawutan harus dijawab dengan paradigma kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh teori dan konsep konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini banyak dianut di kalangan pendidikan di AS. Unsur terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan apa yang mampu dan mau dilakukan oleh si belajar. Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa individunya berbeda dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan individunya.

Alternative pendekatan pembelajaran ini bagi Indonesia yang sedang menempatkan reformasi sebagai wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan juga di segala bidang. Selama ini, wacana kita adalah behavioristik yang berorientasi pada penyeragaman yang pada akhirnya membentuk manusia Indonesia yang sangat sulit menghargai perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum. Perilaku manusia Indonesia selama ini sudah terjangkit virus kesamaan, virus keteraturan, dan lebih jauh virus inilah yang mengendalikan perilaku kita dalam berbangsa dan bernegara.
Longworth (1999) meringkas fenomenan ini dengan menyatakan: ‘Kita perlu mengubah focus kita dan apa yang perlu dipelajari menjadi bagaimana caranya untuk mempelajari. Perubahan yang harus terjadi adalah perubahan dari isi menjadi proses. Belajar bagaimana cara belajar untuk mempelajari sesuatu menjadi suatu hal yang lebih penting daripada fakta-fakta dan konsep-konsep yang dipelajari itu sendiri’.
Oleh karena itu, pendidikan harus mempersiapkan para individu untuk siap hidup dalam sebuah dunia di mana masalah-masalah muncul jauh lebih cepat daripada jawaban dari masalah tersebut, di mana ketidakpastian dan ambiguitas dari perubahan dapat dihadapi secara terbuka, di mana para individu memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukannya untuk secara berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan sebuah dunia yang terus berubah, dan di mana tiap-tiap dan kita menjadi pemberi arti dari keberadaan kita. Beare & Slaughter (1993) menagaskan, ‘Hal ini tidak hanya berarti teknik-teknik baru dalam pendidikan, tetapi juga tujuan baru. Tujuan pendidikan haruslah unutk mengembangkan suatu masyarakat di mana orang-orang dapat hidup secara lebih nyaman dengan adanya perubahan daripada dengan adanya kepastian. Dalam dunia yang akan datang, kemampuan untuk menghadapi hal-hal baru secara tepat lebih penting daripada kemampuan untuk mengetahui dang mengulangi hal-hal lama.
Kebutuhan akan orientasi baru dalam pendidikan ini terasa begitu kuat dan nyata dalam berbagai bidang studi, baik dalam bidang studi non eksakta (ilmu-ilmu social) maupun bidang studi eksakta termasuk bidang studi kimia. Para pendidik, praktisi pendidikan dan kita semua, mau tidak mau harus merespon perubahan yang terjadi dengan mengubah paradigma pendidikan. Untuk menjawab dan mengatasi perubahan yang terjadi secara terus-menerus, alternative yang dapat digunakan adalah paradigmna konstruktivistik (http://sastranikychoysynyster.blogspot.com/2012/03/model-pembelaja rn -konstruktivistik.html).

A.  Pembahasan
Sebuah paradigma yang mapan yang berlaku dalam sebuah sistem boleh jadi mengalami malfungsi apabila paradigma tersebut masih diterapkan pada sistem yang telah mengalami perubahan. Paradigma yang mengalami anomali tersebut cenderung menimbulkan krisis. Krisis tersebut akan menuntut terjadinya revoluasi ilmiah yang melahirkan paradigma baru dalam rangka mengatasi krisis yang terjadi (Kuhn, 2002). Paradigma konstruktivistik tentang pembelajaran merupakan paradigma alternatif yang muncul sebagai akibat terjadinya revolusi ilmiah dari sistem pembelajaran yang cenderung berlaku pada abad industri ke sistem pembelajaran yang semestinya berlaku pada abad pengetahuan sekarang ini.
Menurut paradigma konstruktivistik, ilmu pengetahuan bersifat sementara terkait dengan perkembangan yang dimediasi baik secara sosial maupun kultural, sehingga cenderung bersifat subyektif. Belajar menurut pandangan ini lebih sebagai proses regulasi diri dalam menyelesikan konflik kognitif yang sering muncul melalui pengalaman konkrit, wacana kolaboratif, dan interpretasi. Belajar adalah kegiatan aktif siswa untuk membangun pengetahuannya. Siswa sendiri yang bertanggung jawab atas peistiwa belajar dan hasil belajarnya. Siswa sendiri yang melakukan penalaran melalui seleksi dan organisasi pengalaman serta mengintegrasikannya dengan apa yang telah diketahui. Belajar merupakan proses negosiasi makna berdasarkan pengertian yang dibangun secara personal. Belajar bermakna terjadi melalui refleksi, resolusi konflik kognitif,  dialog, penelitian, pengujian hipotesis, pengambilan keputusan, yang semuanya ditujukan untuk memperbaharui tingkat pemikiran individu sehingga menjadi semakin sempurna.
Paradigma konstruktivistik merupakan basis reformasi pendidikan saat ini. Menurut paradigma konstruktivistik, pembelajaran lebih mengutamakan penyelesaian masalah, mengembangkan konsep, konstruksi solusi dan algoritma ketimbang menghafal prosedur dan menggunakannya untuk memperoleh satu jawaban benar. Pembelajaran lebih dicirikan oleh aktivitas eksperimentasi, pertanyaan-pertanyaan, investigasi, hipotesis, dan model-model yang dibangkitkan oleh siswa sendiri. Secara umum, terdapat lima prinsip dasar yang melandasi kelas konstruktivistik, yaitu
1.      meletakkan permasalahan yang relevan dengan kebutuhan siswa,
2.      menyusun pembelajaran di sekitar konsep-konsep utama,
3.      menghargai pandangan siswa,
4.      materi pembelajaran menyesuaikan terhadap kebutuhan siswa,
5.      menilai pembelajaran secara kontekstual.
Hal yang lebih penting, bagaimana guru mendorong dan menerima otonomi siswa, investigasi bertolak dari data mentah dan sumber-sumber primer (bukan hanya buku teks), menghargai pikiran siswa, dialog, pencarian, dan teka-teki sebagai pengarah pembelajaran.
Secara tradisional, pembelajaran telah dianggap sebagai bagian “menirukan”suatu proses yang melibatkan pengulangan siswa, atau meniru-niru informasi yang baru disajikan dalam laporan atau quis dan tes. Menurut paradigma konstruktivistik, pembelajaran lebih diutamakan untuk membantu siswa dalam menginternalisasi, membentuk kembali, atau mentransformasi informasi baru. Untuk menginternalisasi serta dapat menerapkan pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik, terlebih dulu guru diharapkan dapat merubah pikiran sesuai dengan pandangan konstruktivistik. Guru konstruktivistik memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1.      Menghargai otonomi dan inisiatif siswa.
2.      Menggunakan data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.
3.      Mengutamakan kinerja siswa berupa mengklasifikasi, mengananalisis, memprediksi, dan mengkreasi dalam mengerjakan tugas.
4.      Menyertakan respon siswa dalam pembelajaran dan mengubah model atau strategi pembelajaran sesuai dengan karakteristik materi pelajaran.
5.      Menggali pemahaman siswa tentang konsep-konsep yang akan dibelajarkan sebelum sharing pemahamannya tentang konsep-konsep tersebut.
6.      Menyediakan peluang kepada siswa untuk berdiskusi baik dengan dirinya maupun dengan siswa yang lain.
7.      Mendorong sikap inquiry siswa dengan pertanyaan terbuka yang menuntut mereka untuk berpikir kritis dan berdiskusi antar temannya.
8.      Mengelaborasi respon awal siswa.
9.      Menyertakan siswa dalam pengalaman-pengalaman yang dapat menimbulkan kontradiksi terhadap hipotesis awal mereka dan kemudian mendorong diskusi.
10.  Menyediakan kesempatan yang cukup kepada siswa dalam memikirkan dan mengerjakan tugas-tugas.
11.  Menumbuhkan sikap ingin tahu siswa melalui penggunaan model pembelajaran yang beragam.
Setiap guru mata pelajaran di era globalisasi ini dituntut untuk mempunyai sifat konstruktivistik tersebut. Terlebih lagi di bidang eksakta terutama bidang ilmu kimia yang didalamnya terdapat banyak konsep yang perlu di pahami peserta didik. Dengan pembelajaran konstruktivistik yang menuntut siswa untuk aktif ini diharapkan peserta didik dapat memahami konsep-konsep kimia serta memahami bagaimana konsep-konsep itu terbentuk sehingga konsep itu lebih bermakna.
Penerapan pembelajaran konstruktivistik dalam bidang ilmu kimia dapat dilakukan dengan berbagai model pembelajaran yang inovatif. Joyce & Weil (1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran cenderung preskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran. Model pembelajaran yang bersifat konstruktivistik diantaranya adalah model Reasoning and Problem Solving, Inquiry Training, Problem-Based Instruction, model Pembelajaran Perubahan Konseptual, dan model Group Investigation.
Penerapan model pembelajaran inovatif tersebut terbukti dapat digunakan untuk  mengatasi masalah pembelajaran kimia dan meningkatkan hasil belajar peserta didik. Beberapa penelitian tentang penerapan pembelajaran inovatif tersebut menunjukkan hasil yang positif dengan meningkatnya hasil belajar peserta didik. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Kasmadi Imam Supardi dan Indraspuri Rahning Putri tentang penerapan model pembelajaran inovatif problem solving dengan judul “Pengaruh Penggunaan Artikel Kimia dari Internet pada Model Pembelajaran Creative Problem Solving terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa SMA”.
Penelitian  tersebut merupakan  penelitian eksperimen yang  terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok  eksperimen  dan  kelompok  kontrol. Populasi dalam penelitian  ini adalah siswa kelas XI  IPA  di  SMA  Negeri  1 Gombong.  Dengan menggunakan  teknik  cluster  random  sampling diperoleh dua kelas sebagai kelas sampel, yaitu satu  kelas  eksperimen  dan  satu  kelas  kontrol. Dalam  penelitian  tersebut  variabel  bebasnya  adalah penggunaan artikel kimia. Variabel  terikat dalam penelitian  tersebut adalah hasil belajar siswa kelas XI IPA SMA Negeri I Gombong. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada tanggal 7 April 2009 sampai dengan 13 Mei 2009, pada  siswa  kelas XI  IPA  1 SMA N  1 Gombong sebagai  kelompok  kontrol  dan  XI  IPA  2  SMA N  1 Gombong  sebagai  kelompok  eksperimen. Materi  pokok  yang  dipilih  adalah  kelarutan  dan hasil kali kelarutan. Kemudian pada kelas terpilih sebagai  kelompok  eksperimen  diberi  perlakuan berupa  pembelajaran  kimia  dengan  model pembelajaran CPS dan menggunakan artikel kimia dari  internet, sedangkan kelompok kontrol diberi perlakuan  berupa  pembelajaran  kimia  dengan perencanaan, dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah.
Metode  dokumentasi  digunakan  untuk memperoleh  data  nilai  ujian  semester  1  bidang studi  kimia  SMA Negeri  I Gombong  kelas  XI semester 1 tahun pelajaran 2008/2009 yang akan dipakai untuk analisis tahap awal. Metode tes digunakan  untuk   mengukur  peningkatan  hasil belajar setelah diberikan materi kelarutan dan hasil kali kelarutan dengan kelas eksperimen diberikan perlakuan  yang  berbeda  dengan kelas  kontrol. Jenis tes yang digunakan adalah tes objektif. Hasil tes objektif yang diperoleh dipakai untuk analisis tahap akhir. Untuk mengetahui keterlibatan dan ketertarikan siswa  terhadap penggunaan artikel kimia dari internet pada model pembelajaran CPS digunakan angket. Metode observasi digunakan untuk mengetahui aktivitas siswa dan pelaksanaan pembelajaran oleh guru serta hasil belajar pada aspek psikomotorik dan afektif.
Dari  hasil  penelitian  tersebut  disimpulkan bahwa  penggunaan  artikel  kimia  dari  internet pada model pembelajaran CPS (Creative Problem Solving) memiliki pengaruh terhadap hasil belajar kimia siswa kelas XI SMA N I Gombong pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan yang ditunjukkan dengan  koefisien  korelasi  biserial  (rb)  sebesar 0,5733 dengan pengaruh 32,87%.
Selain itu penelitian lain juga dilakukan oleh Supartono, Saptorini, Dian Sri Asmorowati dari universitas negeri semarang, dengan judul “Pembelajaran Kimia Menggunakan Kolaborasi Konstruktif dan Inkuiri Berorientasi Chemo-entrepreneurship”. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah materi hidrokarbon.
Populasi  dalam  penelitian  ini  adalah siswa kelas X reguler SMA Negeri 1 Jepara tahun pelajaran  2008/2009  yaitu  sebanyak  301  siswa yang tersebar dalam sembilan kelas yaitu kelas X3, X4, X5, X6, X7, X8, X9, dan X10. Sampel dalam penelitian ini juga diambil dengan teknik cluster random sampling  sehingga  diperoleh  kelas X7  sebagai kelas  eksperimen  yang  diberi  perlakuan  berupa pembelajaran  kimia  hidrokarbon menggunakan kolaborasi  konstruktif  dan  inkuiri  berorientasi chemoentrepreneurship  (CEP)  dan  kelas  X10 sebagai kelas kontrol yang diberikan pembelajaran menggunakan model konvensional. Variabel  dalam  penelitian  eksperimen ini  adalah  sebagai  berikut:  (1) Variabel  bebas: pembelajaran  dengan menggunakan  kolaborasi konstruktivisme dan  inkuiri berorientasi CEP.  (2) Variabel terikat: Hasil belajar siswa yang dibatasi pada ranah kognitif, afektif, psikomotor dan minat berwirausaha.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan kolaborasi konstruktif dan inkuiri  berorientasi CEP  dapat meningkatkan hasil  belajar  siswa dan dapat meningkatkan minat berwirausaha siswa.
Selain dua penelitian diatas juga banyak penelitian lainnya yang meneliti tentang model pembelajaran inovatif kimia. Dua penelitian diatas membuktikan bahwa dengan pembelajaran konstruktivistik dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.

B.  Penutup
Perencanaan pembelajaran sangat penting untuk membantu guru dan siswa dalam mengkreasi, menata, dan mengorganisasi pembelajaran sehingga memungkinkan peristiwa belajar terjadi dalam rangka mencapai tujuan belajar. Model pembelajaran sangat diperlukan untuk memandu proses belajar secara efektif. Model pembelajaran yang efektif adalah model pembelajaran yang memiliki landasan teoretik yang humanistik, lentur, adaptif, berorientasi kekinian, memiliki sintak pembelajaran yang sedehana, mudah dilakukan, dapat mencapai tujuan dan hasil belajar yang disasar.
Model pembelajaran yang dapat diterapkan pada bidang studi hendaknya dikemas koheren dengan hakikat pendidikan bidang studi tersebut. Namun, secara filosofis tujuan pembelajaran adalah untuk memfasilitasi siswa dalam penumbuhan dan pengembangan kesadaran belajar, sehingga mampu melakukan olah pikir, rasa, dan raga dalam memecahkan masalah kehidupan di dunia nyata. Model-model pembelajaran yang dapat mengakomodasikan tujuan tersebut adalah yang berlandaskan pada paradigma konstruktivistik sebagai paradigma alternatif.
Model problem solving and reasoning, model inquiry training, model problem-based instruction, model conceptual change instruction, model group investigation, dan masih banyak lagi model-model yang lain yang berlandaskan paradigma konstruktivistik, adalah model-model pembelajaran alternatif yang sesuai dengan hakikat pembelajaran.
Penerapan model pembelajaran konstruktivistik telah dilakukan untuk semua mata pelajaran termasuk  mata pelajaran kimia. Penelitian-penelitian tentang penerapan model pembelajaran konstruktivistik telah dilakukan dan dari penelitian-penelitian tersebut disimpulkan bahwa model pembelajaran tersebut dapat meningkatkan hasil belajar siswa atau peserta didik. Oleh karena itu kita sebagai generasi pendidik seyogyanya dapat menerapkan model pembelajaran inovatif tersebut dalam proses pembelajaran. Tidak hanya mengacu pada model pembelajaran konstruktivistik namun akan lebih baik jika kita dapat menerapkan model pembelajaran lainnya dalam rangka meningkatkan pemahaman peserta didik sehingga hasil belajar peserta didik sesuai dengan tujuan pembelajaran.
1 Komentar untuk "MODEL PEMBELAJARAN KIMIA KONSTRUKTIVISTIK INOVATIF UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK"

APAKAH KONSTRUKTIVISME DAPAT DITERAPKAN DENGAN PEMBELAJARAN ON LINE LEARNING

Berkomentarlah dengan baik dan sopan, saya akan berusaha untuk menjawab setiap pertanyaan dan menanggapi setiap komentar yang anda berikan, :)

Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya :)

Back To Top