Aliran konvergensi dipelopori oleh William Stern, seorang berkebangsaan Jerman yang hidup pada abad XX, dilahirkan pada tahun 1871 dan meninggal dunia pada tahun 1938. Senada dan seirama dengan namanya, teori ini berusaha memadukan teori Empirisme dan Nativisme yang terlalu ekstrim dari pandangan yang berbeda, disatu sisi hanya mengakui lingkungan (empirisme) yang menentukan perkembangan anak, sama sekali tidak mengakui adanya pembawaan. Sedangkan, disisi lain hanya mengakui pembawaan saja yang mempengaruhi perkembangan anak. Keduanya mengandung kebenaran dan keduannya juga mengandung ketidakbenaran. Faktor pembawaan dan factor lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting. Keduanya tidak dapat dipisahkan, sebagaimana teori nativisme, teori ini juga mengakui bahwa pembawaan yang dibawa anak sejak lahir juga meliputi pembawaan baik dan pembawaan buruk. Pembawaan yang dibawah anak waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan pembawaan tersebut. Sebaliknya, sekalipun lingkungan yang bagaimana baiknya tidak akan menghasilkan perkembangan yang baik jika memang pada diri anak tidak ada pembawaan atau bakat seperti yang diharapkan akan dikembangkan. Untuk memudahkan pemahaman terhadap pernyataanpernyataan diatas berikut dikemukakan sebuah contoh. Pernah ditemukan seorang anak berumur 9 tahun di Negara India yang tidap dapat berbicara sebagaimana seusianya (sebaya) dan tidak dapat berjalan tegak sebagaimana manusia pada umumnya, tetapi menggunakan tangan dan kaki sebagaimana binatang. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa manusia memiliki pembawaan berjalan tegak dan mempunyai potensi bahasa yang terus berkembang. Namun, karena anak tersebut dibesarkan oleh seekor serigala, maka segala tingkahlakunya menyerupai binatang. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa ada pembawaan baik, tetapi tidak didukung oleh lingkungan yang baik sehingga tidak dapat berkembang sesuai dengan apa yang diharapkannya. Ilustrasi lain, seorang anak normal berusia 5 bulan kita harapkan sudah dapat berjalan. Dengan menggunakan berbagai teknologi modern untuk mengupayakan agar anak dapat berjalan. Upaya tersebut tentu akan sia-sia belaka, bahkan akhibatnya fatal misalh patah kaki atau kakinya berbentuk X atau 0. Kemudian anak normal berusia 1 tahun kita harapkan sudah dapat berbicara dengan baik, dengan bantuan berbagai alat teknologi modern sekalipun, anak tersebut tetap tidak akan dapat berbicara dengan baik. Alasannya, pada pembawaannya anak baru dapat berjalan pada usia 1 tahun dan dapat berbicara dengan baik pada usia 3 tahun. Contoh yang terakhir ini upaya menyediakan lingkungan yang baik, tetapi tidak didukung oleh pembawaannya. Sekalipun ada potensi untuk dikembangkan yaitu potensi dapat berjalan, potensi dapat berbicara dengan baik, tetapi pembawaan ini terkait dengan waktu yaitu muncul potensi tersebut sehingga dapat berjalan dan dapat berbicara.
Berdasarkan kedua pandangan di atas, William Stern menyimpulkan bahwa perkembangan anak merupakan perpaduan antara pembawaan dan lingkungan. Keduanya merupakan dua garis yang bertemu atau yang menuju pada satu titik yang disebut Konvergensi. Istilah yang digunakan oleh Ki Hajar Dewantara adalah dasar sebagai pembawaan dan ajar sebagai lingkungannya.. Keduanya mempengaruhi perkembangan anak didik, sama-sama tidak dapat dipisahkan. Bahkan dilukiskan : anak sejak lahir telah membawa pembawaan sendiri-sendiri, bagaikan meja berlapis lilin yang tertulisi remang-remang, tergantung dari lingkungan untuk memperjelas tulisan-tulisan yang baik dan membiarkan atau menghalangi agar tulisan-tulisan yang jelek tidak akan muncul dan bahkan dihapuskannya. Tulisan-tulisan yang baik dan tulisan-tulisan buruk dimaksudkan bahwa pada diri manusia ada pembawaan baik dan ada pembawaan buruk.
Menyimak uraian ketiga teori tersebut, teori yang cocok dapat diterima sesuai dengan kenyataan adalah teori aliran konvergensi; yang tidak mengekstrimkan factor pembawan, factor lingkungan atau alamiah yang mempengaruhi perkembangan anak.
Namun demikian, teori konvergensi tidak dapat diterima jika anak didik dipandang sebagai subyek yang berkembang hanya dianggap hanya menerima akhibat pengaruh dari faktor-faktor tersebut. Artinya, anak dalam menerima atau dipengaruhi factor tersebut hanya menerima secara pasif, bagaikan benda yang ditekan dari arah yang berbeda sehingga dapat ditentukan arah, kecepatan, jauh-dekatnya benda tersebut terlempar. Peristiwa ini sesungguhnya bertentangan dengan hakekat manusia sebagai manusia yang aktif. Banyak peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari, baik yang mendukung tumbuh kembangnya anak maupun yang menghambat. Orangtua yang memiliki status sosial ekonomi yang memadai, seringkali perilakunya berlebihan. Misalnya mereka sangat memperhatikan tingkahlaku anaknya sampai sekecil apapun. Mereka menginginkan anaknya yang telah meneyelesaikan studinya dengan baik dijenjang SD, SLTP serta dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi (SMA) yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat anak tersebut. Selama mengikuti pendidikan di SMA tertentu, tiba-tiba anak tersebut menunjukkan tingkahlaku yang negative (bolos, pulang terlambat, bahkan kadang-kadang tidak pulang). Padahal tingkahlaku tersebut tidak pernah ditunjukkan pada pada masa pendidikan sebelumnya. Selanjutnya orangtua berusaha mencari penyebab timbulnya perilaku tersebut dan upaya penyelesaiannya. Misalnya menghubungi teman-teman dekatnya melalui pesanpesan tertentu, menghubungi guru-guru dan petugas BP, menasihati, mengajak pihak-pihak yang berkompeten untuk membicarakan permasalahan yang dihadapi anak dan bahkan usaha-usaha yang irasionalpun telah dilakukan. Namun, tidak membuahkan hasil dan pupuslah harapan orangtua terhadap kelangsungan hidup masa depan anaknya. Gagallah cita-cita orangtua yang mengharapkan anaknya kelak menjadi anak berguna bagi keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa, Negara, dan agama.
Contoh-contoh tersebut diatas dipandang dari teori konvergensi, apabila memperlakukan anak semata-mata sebagai obyek pengaruh factor pembawaan dan lingkungan, atau dianggap manusia yang pasif, maka pandangan teori tersebut masih tetap salah. Hal ini, apabila kita perhatikan dari aspek pembawaan anak tersebut dari orangtua yang status sosial ekonominya memadai. Anak tersebut dapat menyelesaikan studi sebelumnya dengan baik; sedangkan lingkungan yang ada dapat dikatakan baik. Hal ini dapat dilihat dari usaha orangtua, perhatian orangtua, pilihan sekolah yang baik, dan usaha-usaha lainnya untuk mempengaruhi anaknya agar mempunyai masa depan yang menggembirakan. Akan tetpai pembawaan dan lingkungan tersebut tidak dapat seratur persen menentukan keberhasilan perkembangan anak. Berarti, selain kedua factor tersebut keaktifan diri, reaksi, pilihan, penentuan dari diri anak turut mempengaruhi perkembangan anak. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa keaktifan diri anaklah yang dapat dipengaruhi oleh pendidikan agar dapat menguasai diri. Jika penguasaan diri dapat dimiliki anak, maka jiwa dan pembawaan yang jelek dapat dikuasai, dikendalikan, bahkan mungkin dapat dihilangkan. Sebab pada dasarnya ada pembawaan baik dan ada pembawaan jelek. Dalam jiwa manusia terdapat bagian yang bersifat biologis, yaitu keadaan jiwa yang berhubungan dengan perasaan yang sudah mendarah daging pada diri manusia. Bagian inilah yang tidak dapat diubah oleh lingkungannya. Sedangkan bagian jiwa lainnya adalah yang bersifat intelligible, yaitu keadaan jiwa manusia yang berhubungan dengan pikiran. Keadaan jiwa inilah yang dapat dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan, termasuk pendidikan. Jika bagian ini terus-menerus dikembangkan sehingga dapat menguasai diri, maka bagian biologis manusia itu dapat dikuasai. Berkaitan dengan keaktifan pada diri manusia jika hal tersebut sudah termasuk dalam pembawaan, maka teori konvergensi sudah memadai.
Pertanyaan selanjutnya, manakah diantara faktor hereditas dan faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh besar (dominant) terhadap perkembangan anak? Jawaban pertanyaan tersebut tidak dapat segera ditentukan mana yang lebih berpengaruhi terhadap perkembangan anak, seperti pada teori empirisme dan nativisme. Pandangan para pelopor teori konvergensi tidak membedakan faktor mana yang lebih menonjol. Keduanya merupakan faktor yang sama-sama saling mempengaruhi perkembangan anak. Baik faktor hereditas maupun faktor lingkungan keduanya memiliki cirri-ciri tersendiri, keduanya mempunyai rentangan kualitas dan kuantitas. Sebagai illustrasi, pembawaan yang dibawa anak bagaikan meja berlapis lilin yang sudah tercoreti, ada yang sudah penuh dan ada yang belum penuh. Ada yang tercoreti secara remang-remang dan ada yang sudah lebih jelas. Begitu juga yang terjadi pada lingkungan, ada yang kuat dan ada yang kurang kuat, dan banyak sedikitnya macam lingkungan yang mempengaruhi juga berbeda; sehingga tidak dapat ditentukan mana yang lebih kuat diantara keduanya. Hal pentig yang harus diperhatikan adalah adanya keaktifan dalam diri anak. Anak perlu mendapat bantuan agar dapat mengetahui dan menyadari apa yang menjadi pembawaannya. Pembawaan-pembawaan yang baik diberi kesempatan untuk berkembang, sedangkan pembawaan-pembawaan yang buruk tidak diberi kesempatan untuk berkembang sehingga makin lama makin merosot dan akhirnya hilang. Juga disadari bahwa lingkungan sekitar anak terdapat pengaruh yang beraneka ragam, ada yang baik dan ada yang buruk. Adanya keaktifan pada diri anak, sehingga mereka menyadari pengaruh mana yang mendukung dan pengaruh mana yang menghambat perkembangan pembawaan yang dibawanya.
0 Komentar untuk "Aliran Konvergensi dalam Pendidikan"
Berkomentarlah dengan baik dan sopan, saya akan berusaha untuk menjawab setiap pertanyaan dan menanggapi setiap komentar yang anda berikan, :)
Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya :)