BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan sains memiliki
potensi yang besar dan peranan strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia
yang berkualitas untuk menghadapi era idustrialisasi dan globalisasi. Potensi
ini akan dapat terwujud jika pendidikan kimia mampu melahirkan siswa yang cakap
dalam bidangnya dan berhasil menumbuhkan kemampuan bepikir logis, berpikir
kreatif, kemampuan memecahkan masalah, bersifat kritis, menguasai teknologi
serta adaptif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
Pendidikan
sains yang merupakan salah satu bagian dari pendidikan sangat penting perannya
dalam meningkatkan mutu pendidikan, menyiapkan peserta didik yang kritis dan
inovatif dalam menghadapi masalah di masyarakat sebagai dampak perkembangan IPTEK. Menurut
Kartadinata 2009 dalam
http://repository.upi.edu/
operator/upload/s_kim_0700725_chapter1x.pdf,
pendidikan di negara kita sekarang ini
banyak yang menganggap sudah lebih maju. Pada kenyataannya praktik pendidikan
belum mampu menjadikan siswa sebagai manusia yang utuh. Hal ini terjadi karena
pembelajaran yang berlangsung di sekolah selama ini masih berpusat pada guru
dan cenderung memberikan materi hafalan. Hampir dapat dipastikan tidak terjadi
pembelajaran yang bernuansa proses, yang seharusnya peserta didik dilatih untuk
memformulasikan pertanyaan ilmiah untuk penyelidikan dan menggunakan
pengetahuan yang diajarkan untuk menerangkan fenomena alam serta menarik
kesimpulan berbasis fakta-fakta yang diamati. Dengan pola pengajaran sains yang
selama ini digunakan sekolah, siswa menjadi beranggapan bahwa sains merupakan
pelajaran yang terpisah dari dunia tempat mereka berada
(Firman 2007 dalam http://repository.upi.edu/operator/
upload/s_kim_0700725_chapter1x.pdf).
Hal ini menyebabkan siswa tidak memperoleh pengalaman untuk mengaitkan
konsep-konsep sains dengan fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar mereka.
Selain
ketidakmampuan siswa dalam mengaitkan dan menggunakan konsep-konsep sains,
kelemahan lainnya adalah rendahnya proses ketrampilan proses sains siswa. Hal
ini di buktikan pada tingkat literasi sains pada aspek Ketrampilan Proses Sains
(KPS) anak-anak Indonesia berada pada tingkatan rendah. Hasil temuan PISA 2006
untuk Indonesia memberikan beberapa indikasi sebagai berikut:
a. Level
4 yaitu siswa dapat mengambil keputusan dan berkomunikasi menggunakan
pengetahuan. Capaian
Indonesia pada level ini adalah 1,4%.
b. Level
3 yaitu siswa dapat menafsirkan dan mengggunakan konsep sains dari berbagai
disiplin ilmu dan dapat menerapkan secara langsung. Siswa dapat membuat laporan
singkat dengan menggunakan fakta-fakta dan membuat keputusan berdasarkan
pengetahuan sains. Capaian Indonesia pada level ini adalah 9,5%.
c. Level
2 yaitu siswa dapat menjelaskan dan menyimpulkan tentang suatu riset sederhana.
Mampu menginterpretasikan hasil penelitian. Capaian Indonesia pada level ini
adalah 27,5%.
d. Level
1 yaitu pengetahuan siswa tentang sains masih terbatas, hanya dapat diterapkan
pada situasi khusus. Capaian Indonesia pada level ini adalah 41,3%.
e. Dibawah
level 1 sebanyak 20,3% (OECD, 2007)
Hasil
PISA tahun 2009 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat sepuluh besar
dari bawah. Peringkat Indonesia cenderung menurun khususnya dibidang sains.
Tahun 2009 Indonesia menduduki rangking 60 dari 65 (http://P4mri.net). Hasil
PISA tersebut seharusnya dijadikan acuan bahwa pendidikan sains di Indonesia
khususnya kimia belum mampu meningkatkan ketrampilan proses sains siswa yang
berdampak pada rendahnya kemampuan mengaitkan konsep dengan konteks kehidupan
sehari-hari.
Rendahnya
hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah penggunaan
metode atau model pembelajaran yang kurang tepat di sekolah. Beberapa peneliti
menyarankan pengunaan model kontekstual untuk meningkatkan ketrampilan proses
karena model pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning
(CTL) menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat
menentukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan
nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menemukan konsep dan mengaitkan
dalam kehidupan mereka.
Permasalahan
pembelajaran kimia yang sampai ssat ini belum mendapat pemecahan secara tuntas
adalah adanya anggapan pada diri siswa bahwa pelajaran kimia sulit dipahami dan
sulit dimengerti karena banyaknya konsep kimia yang bersifat abstrak. Hal ini
karena mereka tidak dapat mengenali konsep-konsep kunci atau hubungan
antarkonsep yang diperlukan untuk memahami konsep tersebut. Oleh karena itu,
banyak siswa yang tidak menyukai kimia dan mengalami kegagalan dalam belajar
kimia. Siswa hidup di dalam masyarakat yang penuh dengan isu-isu yang beredar
di lingkungannya, sehingga sangatlah penting untuk menghubungkan pendidikan
kimia di sekolah dengan isu-isu yang ada di masyarakat. Hal ini bertujuan untuk
menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja, dan bersikap ilmiah serta
berkomunikasi sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup.
Pembelajaran
yang menyajikan penerapan atau apikasi tentang dunia nyata yang dialami dalam
kehidupan sehari-hari dapat memudahkan pemahaman konsep siswa. Untuk
permasalahan tersebut, perlu diterapkan suatu pembelajaran yang mempunyai
keterkaitan antara konteks dalam kehidupan masyarakat dengan pembelajaran
konseptual dalam ilmu kimia, salah satunya adalah pembelajaran kimia dengan
model kontekstual atau yang lebih dikenal dengan nama CTL (Contextual Teaching and Learning).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, pembelajaran dengan metode kontekstual
ditawarkan sebagai model strategi
pembelajaran kimia yang harapanya dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa SMA. Adapun
permasalahan yang dirumuskan terkait dengan latar
belakang tersebut yaitu:
a.
Bagaimana
pengertian dari pendekatan kontekstual (CTL)?
b.
Bagaimana langkah
untuk menerapkan pendekatan kontekstual (CTL) dalam pembelajaran?
c.
Bagaimana
kelebihan dan kekurangan pendekatan kontekstual (CTL) dalam
pembelajaran Kimia di SMA?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan ini yaitu:
a.
Untuk mengetahui
pengertian dari pendekatan kontekstual (CTL).
b.
Untuk mengetahui
langkah untuk menerapkan pendekatan kontekstual (CTL) dalam pembelajaran.
c.
Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan pendekatan kontekstual (CTL) dalam
pembelajaran Kimia di SMA.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendekatan Kontekstual (CTL)
Sampai saat ini, pendidikan di
Indonesia masih didominasi oleh kelas yang berfokus pada guru sebagai utama
pengetahuan, sehingga ceramah akan menjadi pilihan utama dalam menentukan
strategi belajar. Sehingga sering mengabaikan pengetahuan awal siswa. Untuk itu
diperlukan suatau pendekatan belajar yang memberdayakan siswa. Salah satu
pendekatan yang memberdayakan siswa dalah pendekatan kontekstual (CTL). CTL ini
dikembangkan oleh The Washington State Concortium for Contextual Teaching and
Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah dan lembaga-lembaga
yang bergerak dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat.
Konstruktivisme
(Constructivism) merupakan landasan berpikir pendekatan CTL, yakni pengetahuan
dibangun oleh siswa sedikit demi sedikit dan hasilnya diperluas melalui
konteksnya. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna
melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah,
menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya. Dengan demikian pembelajaran harus
dikemas menjadi proses ”mengkonstruksi” bukan ”menerima” pengetahuan.
Landasan berpikir
konstruktivime berbeda dengan pandangan pengamat objektivis, yang lebih
menekankan pada hasil pembelajaran. Strategi ”memperoleh” lebih diutamakan
dibanding seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.
Pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Pengalaman berkembang
semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru.
Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti
kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda atau
berbentuk jaringan mental dari konsep-konsep yang berkait dan akan mempengaruhi
pemahaman ketika konsep baru diterima. Jaringan tersebut skemata. Pengalaman
yang sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu
dan disimpan dalam kotak berbeda. Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak
(struktur pengetahuan) dalam otak manusia tersebut. Struktur pengetahuan
dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara, yaitu asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi bermakna pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar
pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi bermakna struktur pengetahuan yang sudah
ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan hadirnya pengetahuan baru.
Tugas guru dalam pembelajaran
kontekstual adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru
lebih berurusan dengan trategi daripada memberi informasi. Guru hanya megelola
kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi
siswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai Student centered daripada Teacher
centered. Menurut Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai
berikut:
a.
Mengkaji konsep atau teori yang
akan dipelajari oleh siswa.
b.
Memahami latar belakang dan
pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama.
c.
Mempelajari lingkungan sekolah dan
tempat tinggal siswa yang selanjutnya memilih dan mengkaitkan dengan konsep
atau teori yang akan dibahas dalam pembelajaran kontekstual.
d.
Merancang pengajaran dengan
mengkaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan
pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan hidup mereka.
e.
Melaksanakan penilaian terhadap
pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refeksi terhadap rencana
pemebelajaran dan pelaksanaannya.
Dalam pengajaran kontekstual
memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang penting, yaitu:
a. Mengaitkan
Mengaitkan
adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Guru
menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang
sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui
siswa dengan informasi baru.
b. Mengalami
Mengalami
merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan
informasi baru dengan pengelaman maupun pengetahui sebelumnya. Belajar dapat
terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta
melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.
c. Menerapkan
Siswa
menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru
dapet memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistic dan relevan.
d. Kerjasama
Siswa
yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan.
Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah
yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya membanti
siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata.
e. Mentransfer
Peran
guru membuat bermacam-macam pengelaman belajar dengan fokus pada pemahaman
bukan hapalan.
Menurut
Blanchard, ciri-ciri kontekstual, yaitu:
a.
Menekankan pada pentingnya
pemecahan masalah.
b.
Kegiatan belajar dilakukan
dalam berbagai konteks.
c.
Kegiatan belajar dipantau dan
diarahkan agar siswa dapat belajar mandiri.
d.
Mendorong siswa untuk belajar
dengan temannya dalam kelompok atau secara mandiri.
e.
Pelajaran menekankan pada konteks
kehidupan siswa yang berbeda-beda.
f.
Menggunakan penilaian otentik
Menurut Depdiknas untuk
penerapannya, pendekatan kontektual (CTL) memiliki tujuah komponen utama, yaitu:
a.
Konstruktivisme (constructivism)
Kontruktivisme
merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya
sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar
mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental mebangun pengetahuannya, yang
dilandasi oleh struktur pengetahuanyang dimilikinya.
b.
Menemukan (Inquiry)
Menemukan
merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual Karen
pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan
menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari
observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan
dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion).
c.
Bertanya (Questioning)
Pengetahuan
yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan
strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna
untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman siswa, 3) membangkitkan
respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, 5)
mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) memfokuskan perhatian pada
sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan
dari siswa, 8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
d.
Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep
masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil
kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari ‘sharing’ antar teman,
antar kelompok, dan antar yang tau ke yang belum tau. Masyarakat belajar tejadi
apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam
komunikasi pembelajaran saling belajar.
e.
Pemodelan (Modeling)
Pemodelan
pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru
menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar
siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya
model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa dan juga mendatangkan dari
luar.
f.
Refleksi (Reflection)
Refleksi
merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau
berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya
dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi
yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.
g.
Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessment)
Penialaian
adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai
perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran
perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa
siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada
penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan
terhadap proses maupun hasil.
Perbedaan Pendekatan Kontekstual Dengan Pendekatan Tradisional
No.
|
CTL
|
TRADISIONAL
|
1.
|
Menyandarkan
pada memori spasial (pemahaman makna)
|
Menyandarkan
pada hapalan
|
2.
|
Pemilihan
informasi berdasarkan kebutuhan siswa
|
Pemilihan
informasi ditentukan oleh guru
|
3.
|
Siswa
terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran
|
Siswa
secara pasif menerima informasi
|
4.
|
Pembelajaran
dikaitkan dengan kehidupan nyata/masalah yang disimulasikan
|
Pembelajaran
sangat abstrak dan teoritis
|
5.
|
Selalu
mengkaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
|
Memberikan
tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan
|
6.
|
Cenderung
mengintegrasikan beberapa bidang
|
Cenderung
terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu
|
7.
|
Siswa
menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, menggali, berdiskusi, berpikir
kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah (melalui kerja
kelompok)
|
Waktu
belajar siswa sebagian besar dipergu-nakan untuk mengerjakan buku tugas, mendengar
ceramah, dan mengisi latihan yang membosankan (melalui kerja individual)
|
8.
|
Perilaku
dibangun atas kesadaran diri
|
Perilaku
dibangun atas kebiasaan
|
9.
|
Keterampilan
dikembangkan atas dasar pemahaman
|
Keterampilan
dikembangkan atas dasar latihan
|
10.
|
Hadiah
dari perilaku baik adalah kepuasan diri
|
Hadiah
dari perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor
|
11.
|
Siswa
tidak melakukan hal yang buruk karena sadar hal tersebut keliru dan merugikan
|
Siswa
tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut akan hukuman
|
12.
|
Perilaku
baik berdasarkan motivasi intrinsik
|
Perilaku
baik berdasarkan motivasi ekstrinsik
|
13.
|
Pembelajaran
terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting
|
Pembelajaran
hanya terjadi dalam kelas
|
14.
|
Hasil
belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik.
|
Hasil belajar
diukur melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan.
|
2.2 Langkah Menerapkan Pendekatan Kontekstual (CTL) dalam Pembelajaran
CTL dapat diterapkan dalam
kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun
keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar,
langkahnya sebagai berikut ini:
a.
Kembangkan pemikiran bahwa anak akan
belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri
pengetahuan dan keterampilan barunya.
b.
Laksanakan sejauh mungkin kegiatan
inkuiri untuk semua topik.
c.
kembangkan sifat ingin tahu siswa
dengan bertanya.
d.
Ciptakan masyarakat belajar.
e.
Hadirkan model sebagai contoh
pembelajaran.
f.
Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
g.
Lakukan penilaian yang sebenarnya
dengan berbagai cara.
Contoh
langkah pembelajaran yang berbasis CTL untuk bab reaksi redoks:
a. Pendahuluan (Awal)
1) Sebagai kegiatan pembuka guru mengajukan pertanyaan
kepada peserta: ”Apakah yang dimaksud dengan reaksi redoks?Apakah kejadian
sehari-hari yang melibatkan
reaksi
redoks?
2) Dengan
instruksi dari guru, siswa diminta membentuk 10 kelompok, masing-masing
kelompok berjumlah 3 orang (misal jumlah siswa dalam satu kelas ada 30 orang).
b. Kegiatan Inti
1) Guru
menjelaskan bahwa penyetaraan reaksi dapat diselesaikan dengan dua metode,
yaitu cara ½ reaksi dan cara bilangan oksidasi. Guru menulis dua contoh reaksi
redoks, satu soal dalam suasana asam dan satunya dalam suasana basa :
a) MnO4¯(aq)+ H2C2O4 (aq) → Mn2+ (aq) + CO2 (g)
(suasana asam)
b) HPO3¯(aq) + BrO¯(aq) → PO43- + Br2 (aq) (suasana
basa)
2) Dengan bimbingan guru, siswa diberi kesempatan
untuk menyelesaikan contoh soal di atas dalam kelompoknya dengan cara ½ reaksi
dan cara bilangan oksidasi. Setelah selesai, guru mempersilakan dua perwakilan
kelompok yang paling cepat untuk mengerjakan di papan tulis. Satu perwakilan
mengerjakan point a), dan satunya point b).
3) Guru memberikan kesempatan pada kelompok lain untuk
memberikan masukan dan akhirnya memberikan pemantapan pada jawaban yang paling
tepat.
4) Guru beserta peserta memberikan aplaus pada jawaban
yang benar.
5) Guru memberikan kartu soal yang berisi tiga soal
reaksi redoks untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi dikumpulkan ke
guru.
6) Guru meminta kelompok yang jawabannya kurang tepat
untuk mengerjakan di papan tulis. Hal ini bertujuan agar diskusi kelas dapat
berkembang.
7) Siswa lain diberi kesempatan untuk mengoreksi dan
memberikan masukan. Guru memberikan pemantapan dan memberikan aplaus
bersama-sama.
c. Penutup
Bersama siswa, guru merefleksikan kegiatan yang telah
dilakukan dan membuat kesimpulan dalam menyelesaikan penyetaraan redoks.
Jika dicermati rencana
pembelajaran yang ditempuh di atas, maka beberapa prinsip CTL dapat dilihat
dari kegiatan sebagai berikut :
a.
Proses Inquiry muncul pada saat
siswa mengidentifikasi kejadian atau peristiwa sehari-hari yang melibatkan
reaksi redoks; menemukan cara menyelesaikan soal penyetaraan reaksi redoks
dengan lebih mudah.
b.
Questioning muncul ketika guuru
membimbing siswa dengan pertanyaan ”apakah yang dimaksud dengan reaksi redoks”
dan ” apakah kejadian sehari-hari yang melibatkan reaksi redoks”, serta
bertanya dalam diskusi dengan teman kelompoknya
c.
Learning community terjadi pada saat
kerja kelompok, saling bertanya dan berdiskusi antar peserta dalam kelompok dan
dalam diskusi kelas
d.
Authentic assesment dilakukan ketika
peserta berdiskusi, menyelesaikan soal di papan tulis, membetulkan jawaban yang
salah dan lembaran jawaban yang dikumpulkan
e.
Constructivism terjadi bila dari
semua langkah tersebut peserta diberi kesempatan untuk membangun dan
memperdalam konsep penyetaraan reaksi redoks dengan cara membangun sendiri pengetahuan
barunya berbasis pada pengetahuan atau pengalaman yang sudah dimiliki peserta
f.
Refleksi merupakan akhir dari
kegiatan pembelajaran.
2.3 Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Kontekstual (CTL) dalam
Pembelajaran
Kimia
di SMA
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA) yaitu Fisika, Kimia, dan Biologi; konsepnya diperoleh dari hasil
pengamatan dan penelitian ilmiah. Hal ini lebih mudah untuk mengaplikasikan
kontekstual dalam proses pembelajaran dibanding mata pelajaran rumpun yang lain.
Akan tetapi, rupanya pendekatan pembelajaran Kontekstual selain memiliki
kelebihan juga memiliki kekurangan. Adapun kelebihan dan kekurangan pendekatan
ini yaitu:
Kelebihan
a. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil.
Artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar
di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat
mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi
siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang
dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah
dilupakan.
b. Pembelajaran lebih produktif dan mampu
menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL
menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan
pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa
diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
Kelemahan
a. Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena
dalam metode CTL. Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru
adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan
pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai
individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi
oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan
demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau “penguasa” yang memaksa
kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar
sesuai dengan tahap perkembangannya.
b. Guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri
ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan
strategi–strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini
tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa
agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Pembelajaran kontektual (Contextual
Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa menghubungkan
pengetahuan yang dimilikinya dengan persoalan hidup sehari-hari. Dengan konsep
ini, diharapkan pembelajaran yang terjadi akan lebih bermakna bagi siswa.
Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa.
b. Langkah-langkah menerapkan
pendekatan kontekstual (CTL) dalam pembelajaran:
1)
Kembangkan pemikiran bahwa anak akan
belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri
pengetahuan dan keterampilan barunya.
2)
Laksanakan sejauh mungkin kegiatan
inkuiri untuk semua topik.
3)
kembangkan sifat ingin tahu siswa
dengan bertanya.
4)
Ciptakan masyarakat belajar.
5)
Hadirkan model sebagai contoh
pembelajaran.
6)
Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
7)
Lakukan penilaian yang sebenarnya
dengan berbagai cara.
c. Kelebihan dan kelemahan pendekatan kontekstual (CTL) dalam pembelajaran
kimia di SMA
Kelebihan
a. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil.
b. Pembelajaran lebih produktif dan mampu
menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL
menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan
pengetahuannya sendiri.
Kelemahan
a. Guru harus lebih intensif dalam membimbing
siswanya.
b. Guru
memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan
pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula.
3.2 Saran
Menciptakan
masyarakat belajar bukanlah hal yang mudah apalagi jika ini dikaitkan dengan
hasil pembelajaran di sekolah. Siswa bukan sebagai obyek dari transfer ilmu
melainkan sebagai subyek yang harus menggali, mendapatkan serta menguraikan ilmu.
Siswa dituntut mandiri dalam memecahkan masalah, menganalisis lingkungan,
melakukan adaptasi sosial dan menjembatani setiap permasalahan dalam kehidupan.
Proses pembelajaran akan lebih bermakna apabila siswa sendiri yang menemukan
jawaban atas permasalahan ilmu. Komunikasi verbal, hafalan, daya ingat mungkin
membantu dalam kehidupan nantinya tetapi tanpa dibekali: skill, ability dan inquiry
dalam memecahkan masalah mustahil hidupnya akan bermakna. Untuk itu diperlukan suatau pendekatan belajar yang memberdayakan
siswa yaitu
melalui Pendekatan Kontekstual (CTL), dimana Pendekatan CTL ini dapat diterapkan dalam kurikulum apa
saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Aceng. ____. Pembelajaran Inovatif Unsur. Diunduh dari :
http://jurnal.unhalu.ac.id/download/aceng/PEMBELAJARAN%20INOVATIF%20KIMIA%20UNSUR.pdf
( 20 Mei 2012:19.43 WIB)
Anonim. ____. Strategi Pembelajaran Kimia Inovativ. Diunduh dari: http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=jurnal%20strategi%20pembelajaran%20kimia%20inovatif&source=web&cd=7&ved=0CE4QFjAG&url=http%3A%2F%2Fns1.undiksha.ac.id%2Fimages%2Fimg_item%2F607.doc&ei=NI9BTi7Ko3qrQeXrpTfBw&usg=AFQjCNFHc_MY83lf1niriyTHvxWfkQouPg&cad=rja
( 20 Mei 2012:20.02 WIB)
Nahadi. ____. Peningkatan Kualitas Perkuliahan Evaluasi Pembelajaran Kimia Melalui
Inovasi Berbasis Media. Diunduh dari : http://jurnal.upi.edu/file/Nahadi.pdf
( 20 Mei 2012:19.56 WIB)
Sitorus, Marham. 2009. Inovasi Model Pembelajaran Mata Kuliah Kimia
Organik Heterosiklik. Diunduh dari:
Jurnal
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/42095255.pdf ( 20 Mei 2012:19.32 WIB)
Susiwi. ____. Pendekatan Pembelajaran dalam Pembelajaran Kimia. Diunduh dari : http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._KIMIA/195109191980032-SUSIWI/SUSIWI-26%29._HANDOUT_PENDEKATAN_PEMBELAJARAN.pdf
(
20 Mei 2012:20.12 WIB)
Tag :
Pendidikan Kimia,
Teori Pendidikan
0 Komentar untuk "Contextual Teaching and Learning (CTL)"
Berkomentarlah dengan baik dan sopan, saya akan berusaha untuk menjawab setiap pertanyaan dan menanggapi setiap komentar yang anda berikan, :)
Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya :)